Selasa, 16 Januari 2018

“BUMN Hadir Untuk Negeri” Sebuah Kesalahan Tafsir?

Pada 17 Agustus 2015, bertepatan dengan peringatan ulang tahun Indonesia ke-70 yang lalu, Kementrian BUMN yang dipimpin oleh Rini Soemarno mengeluarkan program “BUMN Hadir Untuk Negeri” dimana menurut beliau, setiap BUMN harus memberikan sumbangsih nyata untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Setelah dua tahun berselang kementrian BUMN beserta jajaran perusahaan-perusahaan plat merah ini telah mengeluarkan berbagai program-program guna mendukung gagasan Menteri Negara BUMN tersebut, adapun contoh-contoh program tersebut seperti kapal teras BRI ke berbagai pulau-pulau terpencil di Indonesia, pembangunan Menara Base Receiver Station (BTS) di Pulau Liran, Maluku yang merupakan salah satu pulau terpencil di wilayah Republik Indonesia, Electronic Data Capture (EDC) Mini ATM – Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN-G2) di berbagai kantor layanan pemerintahan seperti kantor pajak, kantor imigrasi, pos perbatasan negara, pelabuhan, dan lain-lain, belum lagi EDC untuk program Bantuan Sosial (Bansos), dan program-program lainnya.

Sekilas memang terlihat bahwa program-program tersebut sangat mencerminkan prinsip kerakyatan yang selama ini sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas rakyat Indonesia, dan selalu menjadi bahan kampanye politik yang baik selama masa pemilihan umum. Namun apakah program-program “BUMN Hadir Untuk Negeri” ini benar-benar memberikan keuntungan riil secara nation-wide, atau sebenarnya hanya merugikan BUMN-BUMN tersebut, yang akhirnya menjadi kerugian negara, dikarenakan bila terdapat BUMN yang tidak profit, pemerintah harus memberikan injeksi terhadap BUMN tersebut agar bisa tetap bertahan.

Mari kita ambil berberapa contoh untuk kasus EDC pada Bank-Bank BUMN, adapun biaya pembelian EDC per-buah untuk tipe EDC lama seperti Ingenico IWL 220 atau Verifone VX 520 adalah Rp 3.000.000,-/unit, belum lagi biaya maintenance seperti biaya paket data dari provider dan pemeliharan kunjungan teknisi secara berkala sebesar Rp 150.000,-/bulan. Misalkan terdapat 2.000 unit EDC yang di deploy untuk EDC Mini ATM – Modul Penerimaan Negara Generasi 2, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sebagai berikut :

Biaya pembelian EDC                         : Rp 3.000.000 x 2.000 unit  = Rp 6.000.000.000,-
Biaya pemeliharaan/bulan     : Rp 150.000 x 2.000 unit      = Rp 300.000.000,-
BIaya pemeliharaan/tahun     : Rp 300.000.000 x 12 bulan = Rp 3.600.000.000,-

Biaya ini akan membengkak untuk EDC program Bantuan Sosial, dimana pada proyek EDC Bansos, pemerintah menginginkan nantinya seluruh EDC program tersebut menggunakan EDC Android, dimana harga pembelian EDC Android mencapai Rp 9.000.000,-/unit dan biaya maintenance sebesar Rp 350.000,-/bulan. Target deployment EDC Bansos sendiri mencapai 50.000 unit, dimana biaya yang harus dikeluarkan adalah :

Biaya pembelian EDC           : Rp 9.000.000 x 50.000 unit       = Rp 450.000.000.000,-
Biaya pemeliharaan/bulan     : Rp 350.000 x 50.000 unit          = Rp 17.500.000.000,-
BIaya pemeliharaan/tahun     : Rp 17.500.000.000 x 12 bulan  = Rp 210.000.000.000,-

Biaya Rp 210 Milyar pertahun merupakan jumlah yang cukup besar ditanggung oleh Bank-Bank Pemerintah seperti Bank Mandiri, BNI, dan BRI, dan biaya tersebut belum termaksud biaya pengembangan aplikasi yang biasanya memakan biaya dari ratusan juta hingga milyaran rupiah. Walaupun biaya investasi program-program “BUMN Hadir Untuk Negeri” ini cukup besar, ketiga bank plat merah ini tidak diperbolehkan menarik biaya transaksi dari pengguna, dan tidak bisa meminta biaya jasa ke pemerintah. Artinya bank-bank pemerintah ini harus menelan biaya yang cukup besar tersebut, namun tidak mendapatkan pendapatan 1 rupiah-pun.

Adapun menurut pandangan saya, Bu Rini masih hidup dalam utopia bahwa BUMN yang memberikan sumbangsih kepada negara, haruslah memberikannya dalam bentuk langsung dalam program-program yang sifatnya seperti sumbangan seperti ini. Tentu hal ini menjadi berbahaya, karena akan mendorong BUMN-BUMN untuk beroperasi dalam keadaan merugi hanya demi kebijakan yang populis semata. Ketika BUMN-BUMN tersebut merugi, BUMN-BUMN tersebut tidak dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, tidak memberikan deviden kepada negara, dan tidak memberikan sumbangan penerimaan berupa pajak kepada negara.

Bu Rini sepatutnya meniru apa yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura. Diawali oleh kepemimpinan Lee Kuan Yew, Pemerintah Singapura mendorong BUMN-BUMNnya untuk bergerak dalam basis profit oriented dan harus siap bersaing. Pada saat hari peresmian Singapore Airlines, Lee Kuan Yew berkata kepada jajaran direksi Singapore Airlines bahwa Pemerintah tidak akan segan-segan menutup Singapore Airlines bila mereka tidak bisa menghasilkan keuntungan. Dan budaya itu terus terbawa, bahkan menurut data Airline Insider pada tahun 2010, Singapore Airlines adalah satu-satunya maskapai penerbangan yang membukukan profit, dikala semua perusahaan maskapai penerbangan mengalami kerugian akibat krisis ekonomi global.

“Pemerintah tidak membuat mereka menjadi juara, Temasek tidak dibuat untuk menjadi juara. Mereka, termasuk Temasuk harus berkompetisi melawan perusahaan-perusahaan global lainnya untuk menjadi juara.” Adalah salah satu isi pidato Presiden Tony Tan, Presiden Singapura, pada Jamuan Makan Malam Ulang Tahun Temasuk ke-40 tahun 2014 lalu. Di Singapura, pemerintah tidak menjadikan BUMN spesial, Pemerintah Singapura membuka pintu selebar-lebarnya terhadap kompetisi. Tidak ada BUMN yang memegang monopoli, tidak ada pula dana yang akan dikucurkan pemerintah guna BUMN mendapatkan kendali penuh untuk menguasai pasar, dan bila BUMN merugi, pemerintah tidak akan memberikan kucuran dana. Pemerintah Singapura hanya akan memberikan penyertaan dana sekali, saat pendirian perusahaan, dan Pemerintah Singapura tidak akan melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan. Manajemen perusahaan dijalankan secara professional, dan jauh dari kepentingan politik. Pemerintah tidak akan memberikan program-program yang merugikan BUMN, namun sarat kepentingan politik. BUMN harus profit, itulah yang dipercaya Pemerintah Singapura.

Hal ini menjadikan BUMN-BUMN di Singapura tumbuh menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak lagi hanya menguasai pasar domestik, namun juga pasar internasional sepert DBS yang merupakan bank terbesar di Singapura, SingTel yang merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara, Keppel Land perusahaan properti yang mempunyai proyek-proyek raksasa di seluruh Asia, OSIM perusahaan teknologi di bidang kesehatan yang sudah tersebar ke berbagai negara di dunia, Temasek yang merupakan salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia yang juga telah menggelontorkan investasi-nya untuk membeli saham-saham perusahaan Indonesia seperti Bank Danamon, Matahari Putra Prima, Maybank Indonesia, PT. Chandra Asri.

Tentu dengan masifnya pertumbuhan BUMN-BUMN nya, Singapura sebagai sebuah bangsa mendapatkan keuntungan. Pertama, banyaknya lapangan kerja yang tercipta dari BUMN-BUMN tersebut, dimana menurut data Asian Development Bank (ADB) tahun 2014, BUMN menyumbang 70% dari total lapangan pekerjaan di Singapura. Hal ini dikarenakan BUMN yang terus tumbuh tahun-ketahun sehingga terus menerus membutuhkan tambahan pekerja, sehingga BUMN-BUMN ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat besar. Kedua pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan dari deviden yang disetorkan ke pemerintah, dimana deviden ini dapat diberikan dikarenakan perusahaan berhasil mencapai profit, sehingga negara sebagai pemegang saham mendapatkan pembagian keuntungan berubah deviden. Selain itu pemerintah juga mendapatkan pendapatan pajak yang besar dari perusahaan-perusahaan BUMN ini, dikarenakan perusahaan-perusahaan BUMN ini menciptakan profit yang cukup besar. Selain dari perusahaan-perusahaan BUMN, pemerintah juga mendapatkan pendapatan pajak dari para pekerja yang diserap oleh BUMN-BUMN tersebut.

Pendapatan dari deviden dan pajak tersebutlah yang diputar lagi oleh Pemerintah Singapura untuk membangun berbagai infrastruktur, mega proyek, jaminan sosial yang memadai, dan lapangan pekerjaan lagi. Akhirnya tercipta multiplier ekonomi yang sangat signifikan dan memiliki sumbangsih nyata kepada negara dan segenap rakyat Singapura. Terbukti menurut data Asian Development Bank (ADB) tahun 2014, BUMN Singapura memberikan sumbangsih sebesar 36% bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Singapura, yang merupakan persentase sumbangan terbesar bagi PDB Singapura.

Indonesia-pun harus belajar dari Singapura. Daripada membuat BUMN merugi, tidak memberikan sumbangsih apapun bagi negara, dan pemerintah harus terus-terusan menyuntik dana investasi tambahan untuk BUMN demi sebuah kebijakan populis semata, lebih baik pemerintah fokus menjadikan BUMN-BUMN ini menjadi perusahaan yang ber-orientasi profit. Sehingga BUMN-BUMN Indonesia dapat menciptakan lapangan pekerjaan dalam skala lebih besar, serta memberikan pendapatan nyata pada negara berupa deviden dan pajak, dimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program pemerintahan lainnya, guna menciptakan Indonesia yang sejahtera. Bila BUMN bisa menciptakan multiplier ekonomi yang besar, sama seperti yang terjadi di Singapura, dan akhirnya memiliki peran nyata dalam menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, pada saat itulah kita bisa mengatakan BUMN hadir untuk negeri.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar