Pada 17 Agustus 2015, bertepatan
dengan peringatan ulang tahun Indonesia ke-70 yang lalu, Kementrian BUMN yang
dipimpin oleh Rini Soemarno mengeluarkan program “BUMN Hadir Untuk Negeri”
dimana menurut beliau, setiap BUMN harus memberikan sumbangsih nyata untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia. Setelah dua tahun berselang kementrian BUMN
beserta jajaran perusahaan-perusahaan plat merah ini telah mengeluarkan
berbagai program-program guna mendukung gagasan Menteri Negara BUMN tersebut,
adapun contoh-contoh program tersebut seperti kapal teras BRI ke berbagai
pulau-pulau terpencil di Indonesia, pembangunan Menara Base Receiver Station
(BTS) di Pulau Liran, Maluku yang merupakan salah satu pulau terpencil di wilayah
Republik Indonesia, Electronic Data Capture (EDC) Mini ATM – Modul Penerimaan
Negara Generasi 2 (MPN-G2) di berbagai kantor layanan pemerintahan seperti
kantor pajak, kantor imigrasi, pos perbatasan negara, pelabuhan, dan lain-lain,
belum lagi EDC untuk program Bantuan Sosial (Bansos), dan program-program
lainnya.
Sekilas memang terlihat bahwa
program-program tersebut sangat mencerminkan prinsip kerakyatan yang selama ini
sangat dijunjung tinggi oleh mayoritas rakyat Indonesia, dan selalu menjadi bahan
kampanye politik yang baik selama masa pemilihan umum. Namun apakah
program-program “BUMN Hadir Untuk Negeri” ini benar-benar memberikan keuntungan
riil secara nation-wide, atau
sebenarnya hanya merugikan BUMN-BUMN tersebut, yang akhirnya menjadi kerugian
negara, dikarenakan bila terdapat BUMN yang tidak profit, pemerintah harus
memberikan injeksi terhadap BUMN tersebut agar bisa tetap bertahan.
Mari kita ambil berberapa contoh
untuk kasus EDC pada Bank-Bank BUMN, adapun biaya pembelian EDC per-buah untuk
tipe EDC lama seperti Ingenico IWL 220 atau Verifone VX 520 adalah Rp
3.000.000,-/unit, belum lagi biaya maintenance seperti biaya paket data dari
provider dan pemeliharan kunjungan teknisi secara berkala sebesar Rp 150.000,-/bulan.
Misalkan terdapat 2.000 unit EDC yang di deploy untuk EDC Mini ATM – Modul
Penerimaan Negara Generasi 2, maka biaya yang harus dikeluarkan adalah sebagai
berikut :
Biaya pembelian EDC : Rp 3.000.000 x 2.000
unit = Rp 6.000.000.000,-
Biaya pemeliharaan/bulan : Rp 150.000 x 2.000 unit = Rp 300.000.000,-
BIaya pemeliharaan/tahun : Rp 300.000.000 x 12 bulan = Rp
3.600.000.000,-
Biaya ini akan membengkak untuk
EDC program Bantuan Sosial, dimana pada proyek EDC Bansos, pemerintah
menginginkan nantinya seluruh EDC program tersebut menggunakan EDC Android,
dimana harga pembelian EDC Android mencapai Rp 9.000.000,-/unit dan biaya
maintenance sebesar Rp 350.000,-/bulan. Target deployment EDC Bansos sendiri mencapai 50.000 unit, dimana biaya
yang harus dikeluarkan adalah :
Biaya pembelian EDC : Rp 9.000.000 x 50.000
unit = Rp 450.000.000.000,-
Biaya pemeliharaan/bulan : Rp 350.000 x 50.000 unit =
Rp 17.500.000.000,-
BIaya pemeliharaan/tahun : Rp 17.500.000.000 x 12 bulan = Rp 210.000.000.000,-
Biaya Rp 210 Milyar pertahun
merupakan jumlah yang cukup besar ditanggung oleh Bank-Bank Pemerintah seperti
Bank Mandiri, BNI, dan BRI, dan biaya tersebut belum termaksud biaya
pengembangan aplikasi yang biasanya memakan biaya dari ratusan juta hingga
milyaran rupiah. Walaupun biaya investasi program-program “BUMN Hadir Untuk
Negeri” ini cukup besar, ketiga bank plat merah ini tidak diperbolehkan menarik
biaya transaksi dari pengguna, dan tidak bisa meminta biaya jasa ke pemerintah.
Artinya bank-bank pemerintah ini harus menelan biaya yang cukup besar tersebut,
namun tidak mendapatkan pendapatan 1 rupiah-pun.
Adapun menurut pandangan saya, Bu
Rini masih hidup dalam utopia bahwa BUMN yang memberikan sumbangsih kepada
negara, haruslah memberikannya dalam bentuk langsung dalam program-program yang
sifatnya seperti sumbangan seperti ini. Tentu hal ini menjadi berbahaya, karena
akan mendorong BUMN-BUMN untuk beroperasi dalam keadaan merugi hanya demi
kebijakan yang populis semata. Ketika BUMN-BUMN tersebut merugi, BUMN-BUMN tersebut
tidak dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, tidak memberikan
deviden kepada negara, dan tidak memberikan sumbangan penerimaan berupa pajak
kepada negara.
Bu Rini sepatutnya meniru apa yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura. Diawali
oleh kepemimpinan Lee Kuan Yew, Pemerintah Singapura mendorong BUMN-BUMNnya
untuk bergerak dalam basis profit
oriented dan harus siap bersaing. Pada saat hari peresmian Singapore
Airlines, Lee Kuan Yew berkata kepada jajaran direksi Singapore Airlines bahwa
Pemerintah tidak akan segan-segan menutup Singapore Airlines bila mereka tidak
bisa menghasilkan keuntungan. Dan budaya itu terus terbawa, bahkan menurut data
Airline Insider pada tahun 2010, Singapore
Airlines adalah satu-satunya maskapai penerbangan yang membukukan profit,
dikala semua perusahaan maskapai penerbangan mengalami kerugian akibat krisis
ekonomi global.
“Pemerintah tidak membuat mereka
menjadi juara, Temasek tidak dibuat untuk menjadi juara. Mereka, termasuk
Temasuk harus berkompetisi melawan perusahaan-perusahaan global lainnya untuk
menjadi juara.” Adalah salah satu isi pidato Presiden Tony Tan, Presiden
Singapura, pada Jamuan Makan Malam Ulang Tahun Temasuk ke-40 tahun 2014 lalu.
Di Singapura, pemerintah tidak menjadikan BUMN spesial, Pemerintah Singapura
membuka pintu selebar-lebarnya terhadap kompetisi. Tidak ada BUMN yang memegang
monopoli, tidak ada pula dana yang akan dikucurkan pemerintah guna BUMN
mendapatkan kendali penuh untuk menguasai pasar, dan bila BUMN merugi,
pemerintah tidak akan memberikan kucuran dana. Pemerintah Singapura hanya akan
memberikan penyertaan dana sekali, saat pendirian perusahaan, dan Pemerintah
Singapura tidak akan melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan.
Manajemen perusahaan dijalankan secara professional, dan jauh dari kepentingan
politik. Pemerintah tidak akan memberikan program-program yang merugikan BUMN,
namun sarat kepentingan politik. BUMN harus profit, itulah yang dipercaya
Pemerintah Singapura.
Hal ini menjadikan BUMN-BUMN di
Singapura tumbuh menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak lagi hanya
menguasai pasar domestik, namun juga pasar internasional sepert DBS yang
merupakan bank terbesar di Singapura, SingTel yang merupakan perusahaan
telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara, Keppel Land perusahaan properti yang
mempunyai proyek-proyek raksasa di seluruh Asia, OSIM perusahaan teknologi di
bidang kesehatan yang sudah tersebar ke berbagai negara di dunia, Temasek yang
merupakan salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia yang juga telah
menggelontorkan investasi-nya untuk membeli saham-saham perusahaan Indonesia
seperti Bank Danamon, Matahari Putra Prima, Maybank Indonesia, PT. Chandra
Asri.
Tentu dengan masifnya pertumbuhan
BUMN-BUMN nya, Singapura sebagai sebuah bangsa mendapatkan keuntungan. Pertama,
banyaknya lapangan kerja yang tercipta dari BUMN-BUMN tersebut, dimana menurut
data Asian Development Bank (ADB) tahun 2014, BUMN menyumbang 70% dari total
lapangan pekerjaan di Singapura. Hal ini dikarenakan BUMN yang terus tumbuh
tahun-ketahun sehingga terus menerus membutuhkan tambahan pekerja, sehingga
BUMN-BUMN ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat besar. Kedua
pemerintah mendapatkan tambahan pendapatan dari deviden yang disetorkan ke
pemerintah, dimana deviden ini dapat diberikan dikarenakan perusahaan berhasil
mencapai profit, sehingga negara sebagai pemegang saham mendapatkan pembagian
keuntungan berubah deviden. Selain itu pemerintah juga mendapatkan pendapatan
pajak yang besar dari perusahaan-perusahaan BUMN ini, dikarenakan
perusahaan-perusahaan BUMN ini menciptakan profit yang cukup besar. Selain dari
perusahaan-perusahaan BUMN, pemerintah juga mendapatkan pendapatan pajak dari
para pekerja yang diserap oleh BUMN-BUMN tersebut.
Pendapatan dari deviden dan pajak
tersebutlah yang diputar lagi oleh Pemerintah Singapura untuk membangun
berbagai infrastruktur, mega proyek, jaminan sosial yang memadai, dan lapangan
pekerjaan lagi. Akhirnya tercipta multiplier ekonomi yang sangat signifikan dan
memiliki sumbangsih nyata kepada negara dan segenap rakyat Singapura. Terbukti
menurut data Asian Development Bank (ADB) tahun 2014, BUMN Singapura memberikan
sumbangsih sebesar 36% bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Singapura, yang
merupakan persentase sumbangan terbesar bagi PDB Singapura.
Indonesia-pun harus belajar dari
Singapura. Daripada membuat BUMN merugi, tidak memberikan sumbangsih apapun
bagi negara, dan pemerintah harus terus-terusan menyuntik dana investasi
tambahan untuk BUMN demi sebuah kebijakan populis semata, lebih baik pemerintah
fokus menjadikan BUMN-BUMN ini menjadi perusahaan yang ber-orientasi profit.
Sehingga BUMN-BUMN Indonesia dapat menciptakan lapangan pekerjaan dalam skala
lebih besar, serta memberikan pendapatan nyata pada negara berupa deviden dan
pajak, dimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan
infrastruktur dan program-program pemerintahan lainnya, guna menciptakan
Indonesia yang sejahtera. Bila BUMN bisa menciptakan multiplier ekonomi yang
besar, sama seperti yang terjadi di Singapura, dan akhirnya memiliki peran
nyata dalam menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, pada saat
itulah kita bisa mengatakan BUMN hadir untuk negeri.